Langsung ke konten utama

Corak Penafsiran Al-Qur'an

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Bismillah walhamdulillah

Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas sedikit mengenai corak tafsir al-Qur'an.

Para ulama mendefinisikan al-Qur'an yakni firman Allah yang berupa mukjizat (tak satupun jin dan manusia yang dapat mencipta sebagai tandingan al-Qur'an), diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, tertulis dalam mushaf, membacanya terhitung sebagai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir (berangsur-angsur, secara berturut-turut, secara bertahap) yang dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Naas.

Secara etimologi kata ‘tafsir’ berasal dari al-fasru ( الفسر ) yang berarti jelas dan nyata. Dalam Lisan al-Arab Ibnu Manzur menyebutkan al-fasru berarti membuka tabir, sedangkan at-tafsir artinya menyibak makna dari kata yang tidak dimengerti. Ada lagi yang mendefinisikan tafsir dengan arti menyingkap (al-kasyaf) dan "menerangkan" (al-bayan). 

Dengan demikian, menafsir mengandung dua kegiatan, yakni:

Pertama, menyingkapkan makna teks yang tersembunyi sehingga jelas, bagi yang menyingkapkan. 

Kedua, menerangkan makna yang sudah jelas maksudnya bagi penyingkap itu kepada khalayak. 

Dari definisi tafsir secara etimologi itu, maka tafsir bisa dimaknai membuka tabir untuk sesuatu yang kasat mata dan juga berarti menyingkap makna kata.

Sedangkan terminologi 'tafsir' menurut Az-Zarkashi (w. 794 H) di dalam kitabnya Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an dijelaskan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengenal kitabullah (al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Dari ejawentah terminologi tafsir tersebut, kiranya dapat diambil empat objek pembahasan dalam ilmu tafsir, yakni:

1.) Mengetahui hal-hal mengenai al-Qur'an
2.) Mendapatkan penjelasan makna
yang termuat di dalam al-Qur'an.
3.) Menggali hukum-hukum yang 
terkandung di dalam ayat-ayat Qur'an.
4.) Menemukan hikmah-hikmahnya dibalik keistimewaan tiap ayat-ayat al-Qur'an

A. Tafsir Bil-Ma’tsur

1. Pengertian Tafsir bil-Ma’tsur

Tafsir secara istilah adalah ilmu yang dibahas didalamnya masalah-masalah al-Qur’an yang mulia dari segi penunjukannnya terhadap maksud Allah swt sesuai kemampuan manusia. Adapun bil-ma’tsur berasal dari isim maf’ul dari lafaz atsara yang berarti 
manqul atau dinukilkan. Kata bil-ma’tsur disni mencakup baik yang dinukilkan dari Allah melalui al-Qur’an, yang dinukilkan dari Nabi saw. (hadis), dari para sahabat dan tabi’in. Dari keterangan di atas, maka dapat didefinisikan bahwa tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang sahih sesuai urutan yang disebutkan dalam syarat-syarat mufassir, yakni menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan as-sunnah, menafsirkan al-Qur’an dengan qaul sahabat, dan menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in. Dengan demikian, sumber utama dalam corak tafsir bil-ma’tsur adalah al-Qur’an, as-sunnah (hadis), qaul sahabat, dan tabi'in. Meskipun tafsir bil-ma’tsur mengandalkan riwayat dalam penafsiran, namun dalam hal tertentu tidak terlepas dari nalar atau ra'yu.

Sebagian ahli tafsir (diantaranya Al-Zarqany) tidak memasukkan pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur, namun sebagai tafsir bil-ra’yi. Hal ini mungkin karena pendapat tabi’in sudah banyak terkontaminasi akal atau mufassir-nya dalam menafsirkan al-Qur’an lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa daripada riwayat, berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi saw, bahkan penafsiran sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu di hukumi marfu’ Nabi.

Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat tabi’in sebagai bil-ma’tsur karena dijumpai kitab-kitab tafsir bil ma’tsur, seperti tafsir Ath-Thabari dan sebagainya (yang disepakati sebagai tafsir riwayat) memasukkan pendapat tabi’in dalam tafsirnya. Disamping itu, para tabi’in banyak yang bergaul dengan sahabat, mempelajari ilmu-ilmu mereka, dan banyak mengetahui hal ihwal al-Qur’an dari 
mereka dibandingkan dengan generasi setelahnya. Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan corak bil-ma’tsur adalah; Tafsir 
Ibnu Abbas, Tafsir Ibnu ‘Uyainah, Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Hibban, Tafsir Ibnu ‘Athiyah dan sebagainya.

B. Tafsir Bil-Ra’yi

1. Pengertian Tafsir bil-Ra’yi

Kata al-ra’yu berarti pemikiran, pendapat, dan ijtihad. Menurut definisinya, tafsir bil-ra’yi adalah tafsir yang didalam menjelaskan makna atau kandungan suatu 
ayat al-Qur’an, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbat) pun didasarkan pada logikanya semata. Adapun secara etimologi, ra'yu berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyas dan ijtihad). Menurut Husein Adz-Dzhahabi, tafsir bil-ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir setelah dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran seperti asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan sebagainya. Tafsir bil-ra’yi mulai berkembang sekitar abad ke-3 H. Menurut Manna Al-Qatthan, Kategori penafsiran seperti ini dalam memahami ayat-ayat al-qur’an dianggap tidak sesuai dengan ruh syariat yang didasarkan pada nash-nashnya. Rasio semata yang tidak disertai bukti-bukti nyata dikhawatirkan akan berakibat pada kitabullah tersebut.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan cara demikian adalah ahli bid’ah, penganut madzhab yang bathil. Mereka menggunakan pendapat pribadi dalam menakwilkan al-Qur’an tanpa adanya berpijak pada pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat, dan tabi’in. Golongan ini telah menulis kitab tafsir menurut metodologi mazhab mereka, seperti tafsir Abdurrahman 
Bin Kaisam Al-Asam, Al-Jubba’i, Abdul Jabbar, Ar-Rummani dan lainnya. Diantara mereka adapula yang menyisipkan pemikiran madzhabnya, seperti yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari yang menyisipkan ajaran mu’tazilah kedalam Al-Kasyaf, karyanya.

Meski demikian, tidak sedikit pula para ulama yang mendukung adanya tafsir dengan corak bil-ra’yi tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa perbedaan pendangan tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat lafdzi-redaksional. Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’yu/pemikiran semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku.

Beberapa contoh tafsir yang menggunakan corak bil-ra’yi yang masyhur dan sangat besar peranannya dalam perkembangan tafsir al-Qur’an diantaranya adalah 
sebagai berikut: 
1. Mafatih Al-Ghaib/Tafsir Al-Kabir karya Fakhruddin Al-Razi (544-604 
H/1149-1207 M)
2. Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1459 M) dan Jalaluddin Asy-Syuyuti (w. 791 H/1388)
3. Anwar At-Tanzil Wa Asrar At-Ta’wil karya Al-Syairazi (w. 791 H/ 1388 M)12 dan sebagainya.

C. Tafsir Bil-Isyari

1. Pengertian Tafsir bil-isyari

Selain dua pendekatan dalam menafsirkan al-qur’an (bil-matsur dan bil-ra’yi), sebagian ulama menambahkan satu pendekatan lagi, yakni menafsirkan al-Qur’an berdasarkan intuisi/isyarat seorang sufi. Seorang sufi adalah seseorang yang telah berpengalaman dalam mengarungi dunia tasawuf atau dunia olah batin. Mereka (kaum sufi) memandang setiap teks ayat al-qur’an bukan dari lahiriyahnya tetapi dari nuansa alam spiritualnya. Tafsir dengan corak pendekatan ini dikenal dengan Tafsir bil-isyari.
Tafsir isyari merupakan penafsiran ahli tafsir yang menggologkan dirinya sebagai ahli tasawuf. Penafsiran ini berusaha mengungkapkan makna al-qur’an berdasarkan maknanya yang tersirat. Menurut kaum sufi, setiap ayat memiliki makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah apa yang mudah dipahami oleh akal pikiran. Sedangkan yang batin perlu suatu usaha memahami isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya diketahui oleh mereka yang pakar saja. Isyarat-isyarat yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan ayat-ayat al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa oleh ayat-ayat. Itulah yang 
disebut tafsir isyari.

Menurut Adz-Dzahabi, Tafsir isyari adalah suatu penafsiran al-Qur’an dengan tidak berdasarkan maknanya pada kata-kata yang tersurat, penafsiran ini menggunakan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya nampak pada ahli-ahli tasawuf, dengan kata 
lain tafsir isyari ialah tafsir yang didasarkan pada isyarat-iyarat rahasia degan cara memadukan makna yang dimaksud dengan kata yang tersurat.

Pada dasarnya penafsiran secara isyari ini telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa Umar ra. Bertanya kepadanya 
tentang Qs. An-nasr ayat 1, maka ia menjawab: "menurutku, ayat 
itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah saw. yang diinformasikan Allah kepadanya (melalui ayat ini)". Adapun penafsiran dengan pendekatan ini semakin berkembang dengan berkembangnya aliran sufi/tasawuf.

Diantara kitab-kitab tafsir dengan corak tafsir bil isyari adalah: 
1. Tafsir Al-Tustury/Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Abu Muhammad Sahl Ibn Abdillah Al-Tustury (w. 283 H)
2. Tafsir Ruh Al-Ma’any/Tafsir Al-Alusy karya Syihabuddin  Muhammad Al-Alusi (w. 1270 H)
3. Gharaib Al-Qur’an Wa Gharaib Al-Furqan/Tafsir An-Naisabury karya Nizamuddin Muhammad An-Naisabury (w. 728 H)
4. Tafsir Ibn Araby karya Ibn Araby (w.238 H) dan sebagainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I’TIBAR, MUTABA’AT, DAN SYAWAHID [unedited]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam struktur tingkatan sumber hukum umat islam, hadis (sunnah) menempati urutan kedua setelah al-qur’an, karena disamping sebagai ajaran islam yang secara langsung terkait dengan kehidupan Rasulullah saw. sebagai suri tauladan, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al’qur’an. Hadis Nabi meskipun dalam tingkatan sumber hukum berada pada urutan kedua, namun dalam praktik pelaksanaan ajaran islam sangatlah penting, bahkan tidak jarang dianggap sejajar dengan al-qur’an. hal ini, karena hadis selain sebagai penguat dan penjelas terhadap al-qur’an, terkadang ia secara independent dapat menjadi pijakan dalam menentukan ketetapan hukum terhadap suatu permasalahan yang tidak disebutkan dalam al-qur’an. Hadis dengan berbagai dimensinya selalu menjadi fokus kajian yang problematik dan menarik. Studi hadis pun dikalangan para peneliti hadis terus mengalami perkembangan. Beragam objek studi hadis terus berkembang dari masa ke mas

Kuliah Jalanan

    Perasaan sekarang ini perkuliahan belum dimulai, namun saya merasa mendapat banyak materi kuliah hari ini. Kamu boleh menyebutnya kuliah "hidup". Semua berawal dari perjalanan saya ke sebuah coffee shop di Pondok Cina (sebuah kawasan di Margonda, pusat kota Depok). Dengan berbekal hem warna merah motif kotak-kotak dan celana panjang bermerk curidimal yang kumal karena belum disetrika, saya berangkat menyusuri padatnya kota Depok siang itu. Perginya saya ke coffee shop itu bukan tanpa alasan, ada misi khusus yang saya emban dan mesti saya lakoni hingga tuntas.     Jalan kakilah saya dari tempat persinggahan by foot sampai halte fakultas teknik Universitas Indonesia. Sesampainya saya di sana, sembari menunggu Bis Kuning (BIKUN) UI lewat saya menyalakan earbud yang baterainya tinggal 10% untuk kemudian dihubungkan dengan smartphone saya via bluetooth. Tak hanya sampai situ, saya pun membuka buku Epistemologi Islam yang sebenarnya merupakan kumpulan materi kuliah Prof. Satria

Tak Siap

Telah lama kupendam hingga padam Prahara asmara yang kian bermunculan di kepala Namun apa kata tiba-tiba saja tiba di depan mata Sungguh rencana Tuhan selalu saja tak terkira Banyak kata yang ingin terucap Sepatah dua patah ihwal perasaan penuh harap Tapi apa daya raga ini bak berkata tak siap Maksud hati tuk menatap syahdan menetap Banjarnegara, 17 Mei 2021