Langsung ke konten utama

Musytarak [unedited]

A. Latar Belakang.
Untuk dapat memahami nash-nash al-qur’an dan hadits dengan tepat dan benar, 
harus memperhatikan ushlub (gaya bahasa) Bahasa Arab, tentang petujuk nash 
kepada artinya. dalam memahami suatu nash ada kalanya melalui arti lafal (arti 
lughowi), kemudian mengerti lafal (arti tafsiri) dan baru mengetahui maksud lafal 
(istibath hukum), dan ada kalanya langsung mengerti lafal dan maksudnya.
Pada tahap-tahap di atas ada pokok bahasan yang sangat penting yakni 
musytarak, maka beginilah keragaman dan kekayaan bahasa. Satu lafadz kadang 
tidak hanya memberikan satu makna, tapi bisa memberikan dua, tiga, bahkan 
banyak makna serta menyesuaikan tempat, konteks, dan waktu. Dalam bahasa 
Ushul Fiqih hal tersebut biasa dinamakan musytarak. oleh karena itu, makalah ini 
akan memfokuskan pada pembahasan al-musytarak dalam penentuan hukum-
hukum ushul fiqih.
B. Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian Musytarak?
2. Apa sebab munculnya Musytarak?
3. Apa saja macam-macam Musytarak?
4. Bagaimana hukum lafal Musytarak?
C. Tujuan Pembahasan.
1. Mengetahui pengertian Musytarak.
2. Mengetahui sebab munculnya Musytarak.
3. Mengetahui macam-macam Musytarak.
4. Mengetahui hukum lafal Musytarak.
1. Pengertian Musytarak.
Secara bahasa, musytarak adalah mashdar dari يشتتتت – اشتتتت yang berarti
bersekutu. Secara istilah, musytarak adalah persekutuan makna dalam suatu lafadz,
dengan kata lain satu lafadz yang mempunyai makna banyak dengan kegunaan yang
banyak pula. Tahun bisa digunakan tahun hijriyah dan tahun masehi. Bulan bisa bulan
januari atau muharam dan bisa bermakna bulan yang ada di atas langit.
Banyaknya makna adakalanya sama sama pengertian bahasa. Adakalanya
antara pengertian bahasa dan istilah syara’. Jika sama sama bahasa maka cukup
digunakan satu atau memilih satu diantara makna bahasa yang ada. Jika antara bahasa
dan istilah syara’, maka yang digunakan adalah makna istilah syara’.1
Lafal al-musytarak adalah “lafal yang mempunyai dua arti atau lebih yang
berbeda-beda”, seperti quru’ yang mempunyai arti suci atau haid, jaun yang
mempunyai arti hitam atau putih, tanggal dalam bahasa indonesia mempunyai makna
bulan dan lepas 2
. Musytarak disini menurut DR. Zain bin Ali bin Mahdi Maharisy
dalam kitabnya “shuarul musytarak al-lafdzi fil qu’anil karim wa’atsaruhu fil ma’na“
adalah satu lafadz yang memiliki banyak arti yang berbeda dan tidak ada hubungannya
satu sama lain. Dari sini bisa di fahami bahwa musytarak dalam al-qur’an adalah setiap
kata yang ada dalam al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam dan antara
makna yang ada itu tidak ada hubungannya.
2. Penyebab Terjadinya Musytarak.
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangatlah banyak
sekali, di antara penyebab terjadinya musytarak adalah perbedaan-perbedaan kabilah
arab dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan suatu makna, terjadinya
perluasan makna dari suatu lafadz, dan terjadinya keragu-raguan antara makna yang
haqiqi dan majazi.
Tidak hanya bahasa arab bahasa indonesia juga demikian. coba kita cermati satu
kata juga memiliki perbedaan. sambih misalnya dalam bahasa madura adalah di bawah,
sedang dalam bahasa jawa kata tersebut berarti menikmati. silahkan disambih berarti
silahkan di bawa dalam bahasa madura. Sementara dalam bahasa jawa berarti silahkan
dinikmati.
Berikutnya, ulama ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling 
mempengaruhi antara lain sebagai berikut:
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab dalam menggunakan suatu kata untuk 
menunjukkan terhadap suatu makna. Seperti perbedaan dalam pemakaian kata يد
dalam satu kabilah, kata ini di gunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna كله
اع ذن , satu kabilah untuk menunjukkan الستتتتلكدال sedangkan kabilah yang lain 
untuk menunjukkan khusus telapak tangan. 
b. Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti 
lafadz ن ف yang asalnya bermakna النلر في المعدن) logam/barang tambang dalam api)

selanjutnya di gunakan untuk menunjukkan arti الدين) penindasan agama) kemudian 
bermakna الضالل في الوقوع) terjerumus dalam kesesatan) 
c. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguan تتت antara makna haqiqi dan 
majas. 
d. terjadinya makna yang berkisaran/ keragu-raguan تتت antara makna haqiqi dan 
makna istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam 
arti istilah, seperti kata-kata yang di gunakan dalam istilah syara’. seperti lafadz
 الصتال dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan 
untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi. 3
3. Menganalisa Contoh Musytarak. 
Lafal yang musytarak terkadang berupa isim (kata benda), berupa fi’il (kata 
kerja) seperti sighot (bentuk) perintah untuk kewajiban dan anjuran (ijab dan nadb) atau 
berupa huruf, misalnya wawu untuk ‘athof (kata sambung) dan untuk hal (menyatakan 
keadaan).
a.) Berupa isim, contoh :
ثَةَ
ٰ
ل
ِلَْنفُ ِس ِه َّن ثَ
َ بَّ ْص َن ب
ُت يَ َ
قٰ
َّ
ُم َطل
ْ
ُ ْوْۤ ء َوال
قُ
“Dan wanita-wanita yang di thalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali 
quru” (QS.Al-Baqarah:228).
Dalam ayat tersebut terdapat lafal quru yang mempunyai arti haidh dan suci.
b.) Berupa fi’il, seperti fi’il amr, contoh:
َمل َطل َب
ْم ِ ُحْوا
فَلْن لَ ُ
“Kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi”(QS. An-Nisa:3).
Dalam ayat tersebut terdapat fi’il amr “ankihu” (kawinilah) menunjukkan arti wajib 
dan sunnah. Menurut ulama islam (jumhur) lafal amr tersebut tidak berarti wajib 
melainkan sunnah, tetapi menurut ulama al-zahiri mengandung arti wajib. 
c.) Berupa huruf, seperti huruf wawu, contoh:
ْي ِه َوََل
َكِ ا ْسُم هّٰللاِ َكلَ
ْم يُذْ
ْوا ِمَّمل لَ
ُ
كُل
ْ
تَأ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak di sebut nama Allah 
Swt. ketika menyembelihnya”(QS.Al-An’am:121).
Huruf wawu dalam ayat tersebut dapat di artikan sebagai huruf hal (keadaan), dapat 
pula di artikan sebagai huruf athaf (penghubung). Apabila di artikan sebagai huruf 
athaf, maka yang di maksud oleh ayat tersebut adalah semua binatang yang di 
sembelih tidak dengan atas Nama Allah Swt atau atas nama selain Allah Swt. 
Apabila di artikan sebagai huruf hal maka arti dan maksud ayat tersebut adalah 
dilarang memakan binatang yang tidak atas nama Allah Swt pada saat 
menyembelihnya.

4. Hukum Lafal Musytarak.
Apabila dalam nash-nash Al-qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang 
musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah 
sebagai berikut:
a.) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara 
arti bahasa dan istilah syara’, maka yang diitetapkan adalah arti istilah syara’, 
kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti 
dalam istilah bahasa.
Contoh :
➢ Kata shalat, ditetapkan menurut bahasa untuk pengertian do’a, dan 
ditetapkan menurut syara’ untuk ibadah tertentu. maka dalam Firman Allah 
Swt:
و َ
ٰ
اَقِ ْي ُموا ال َّصل
“Laksanakanlah shalat” (QS.Al-An’am/6:72)
Yang dimaksudkan dari lafal itu adalah makna yang bersifat syar’i, yaitu 
ibadah tertentu, bukan makna bahasanya.
➢ Kata thalaq di tetapkan menurut bahasa untuk melepaskan ikatan apa saja, 
dan menurut syara’ digunakan untuk pelepasan ikatan pernikahan yang 
sah. misalnya Firman Allah Swt:
ِن
َّطَال ُق َمَّ تٰ
 اَل
“Thalaq (yang dapat di rujuk) itu dua kali …” (QS. Al-Baqarah/2:229)
Makna yang di kehendaki dalam ayat tersebut adalah makna secara syar’i, 
bukan makna kebahasaan.
b.) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang 
ditetapkan adalah salah satu arti dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan 
menunjukkan salah satu arti tersebut. Hal tersebut dikarenakan syar’i hanya 
menghendaki makna pada satu lafal. Dan seorang mujtahid wajib mengambil 
petunjuk dengan berbagai qorinah dan tanda-tanda, serta dalil-dalil untuk 
menentukan maksud tersebut. Baik berupa qarinah Lafdziyah maupun qarinah 
haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. 
Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan / kondisi tertentu masyarakat arab pada 
saat turunya nash tersebut.
Contoh :
Misalnya lafal al-qur’u dalam Firman Allah Swt: 
ُA. Kesimpulan
Secara bahasa, musytarak adalah mashdar dari يشتتتت – اشتتتت yang berarti 
bersekutu. Secara istilah, musytarak adalah persekutuan makna dalam suatu lafadz, 
dengan kata lain satu lafadz yang mempunyai makna banyak dengan kegunaan yang 
banyak pula.
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangatlah banyak 
sekali, di antara penyebab terjadinya musytarak adalah perbedaan-perbedaan kabilah 
arab dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan suatu makna, terjadinya 
perluasan makna dari suatu lafadz, dan terjadinya keragu-raguan antara makna yang 
haqiqi dan majazi.
Lafal yang musytarak terkadang berupa isim (kata benda), berupa fi’il (kata 
kerja) seperti sighot (bentuk) perintah untuk kewajiban dan anjuran (ijab dan nadb) atau 
berupa huruf, misalnya wawu untuk ‘athof (kata sambung) dan untuk hal (menyatakan 
keadaan).
Hukum lafadz musytarak ada beberapa klasifikasi, yakni pertama Apabila 
lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa 
dan istilah syara’, maka yang diitetapkan adalah arti istilah syara’, kedua Apabila lafadz 
tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah 
salah satu arti dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan.

Lafal tersebut merupakan musytarak antara makna suci dan haid . Oleh karena 
itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuanya untuk mengetahui 
makna yang dimaksudkan oleh syara’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut. 
Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’I mengartikan dengan pindahan dari masa suci 
ke masa haidl. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda 
muannast pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa arab 
ma’dudnya haruus mudzakkar, yaitu lafadz at-thur (suci). Sedangkan Imam Abu 
Hanifah mengartikanya dengan masa haidh. Dalam hal ini beliau beralasan bahwa 
lafadz tsalasah adalah lafadz yang khas yang secara zahir menunjukkan 
sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan penambahan. 
Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak 
sampai tiga).
c.) Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan arti lafadz-lafadz tersebut, menurut 
golongan Hanafiyah harus di mauqufkan sampai adanya dalil yang dapat 
menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah 
membolehkan menggunakan salah satu artinya.
4
d.) Dalam nash perundang-undangan hukum positif, apabila lafal yang ada dalam nash 
mempunyai dua makna, yaitu makna menurut bahasa dan istilah (terminologi) 
perundang-undangan, maka yang di kehendaki dari makna tersebut adalah 
pengertian yang bersifat perundang,undangan, bukan kebahasaan, sebagaimana 
lafal daf, hulul, dan lainnya, yang di kehendaki dari lafal tersebut adalah dari segi pengertiannya secara perundang-undangan, bukan dari segi kebahasaannya.

A. Kesimpulan
Secara bahasa, musytarak adalah mashdar dari يشتتتت – اشتتتت yang berarti 
bersekutu. Secara istilah, musytarak adalah persekutuan makna dalam suatu lafadz, 
dengan kata lain satu lafadz yang mempunyai makna banyak dengan kegunaan yang 
banyak pula.
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangatlah banyak 
sekali, di antara penyebab terjadinya musytarak adalah perbedaan-perbedaan kabilah 
arab dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan suatu makna, terjadinya 
perluasan makna dari suatu lafadz, dan terjadinya keragu-raguan antara makna yang 
haqiqi dan majazi.
Lafal yang musytarak terkadang berupa isim (kata benda), berupa fi’il (kata 
kerja) seperti sighot (bentuk) perintah untuk kewajiban dan anjuran (ijab dan nadb) atau 
berupa huruf, misalnya wawu untuk ‘athof (kata sambung) dan untuk hal (menyatakan 
keadaan).
Hukum lafadz musytarak ada beberapa klasifikasi, yakni pertama Apabila 
lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa 
dan istilah syara’, maka yang diitetapkan adalah arti istilah syara’, kedua Apabila lafadz 
tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah 
salah satu arti dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I’TIBAR, MUTABA’AT, DAN SYAWAHID [unedited]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam struktur tingkatan sumber hukum umat islam, hadis (sunnah) menempati urutan kedua setelah al-qur’an, karena disamping sebagai ajaran islam yang secara langsung terkait dengan kehidupan Rasulullah saw. sebagai suri tauladan, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al’qur’an. Hadis Nabi meskipun dalam tingkatan sumber hukum berada pada urutan kedua, namun dalam praktik pelaksanaan ajaran islam sangatlah penting, bahkan tidak jarang dianggap sejajar dengan al-qur’an. hal ini, karena hadis selain sebagai penguat dan penjelas terhadap al-qur’an, terkadang ia secara independent dapat menjadi pijakan dalam menentukan ketetapan hukum terhadap suatu permasalahan yang tidak disebutkan dalam al-qur’an. Hadis dengan berbagai dimensinya selalu menjadi fokus kajian yang problematik dan menarik. Studi hadis pun dikalangan para peneliti hadis terus mengalami perkembangan. Beragam objek studi hadis terus berkembang dari masa ke mas

Kuliah Jalanan

    Perasaan sekarang ini perkuliahan belum dimulai, namun saya merasa mendapat banyak materi kuliah hari ini. Kamu boleh menyebutnya kuliah "hidup". Semua berawal dari perjalanan saya ke sebuah coffee shop di Pondok Cina (sebuah kawasan di Margonda, pusat kota Depok). Dengan berbekal hem warna merah motif kotak-kotak dan celana panjang bermerk curidimal yang kumal karena belum disetrika, saya berangkat menyusuri padatnya kota Depok siang itu. Perginya saya ke coffee shop itu bukan tanpa alasan, ada misi khusus yang saya emban dan mesti saya lakoni hingga tuntas.     Jalan kakilah saya dari tempat persinggahan by foot sampai halte fakultas teknik Universitas Indonesia. Sesampainya saya di sana, sembari menunggu Bis Kuning (BIKUN) UI lewat saya menyalakan earbud yang baterainya tinggal 10% untuk kemudian dihubungkan dengan smartphone saya via bluetooth. Tak hanya sampai situ, saya pun membuka buku Epistemologi Islam yang sebenarnya merupakan kumpulan materi kuliah Prof. Satria

Tak Siap

Telah lama kupendam hingga padam Prahara asmara yang kian bermunculan di kepala Namun apa kata tiba-tiba saja tiba di depan mata Sungguh rencana Tuhan selalu saja tak terkira Banyak kata yang ingin terucap Sepatah dua patah ihwal perasaan penuh harap Tapi apa daya raga ini bak berkata tak siap Maksud hati tuk menatap syahdan menetap Banjarnegara, 17 Mei 2021