Langsung ke konten utama

Terjemah Al-Qur'an [unedited]

Bismillah walhamdulillah

Pernah dengar istilah terjemah? Kira-kira maksudnya apa ya?
Kali ini saya akan sedikit membahas perihal terjemah al-Qur'an.

A. Latar Belakang
Penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang menjadi penting bagi manusia
pada abad modern ini. kegiatan ini bukan saja dimiliki oleh penerjemah, para guru
bahasa, dan para peminat bahasa lainnya, melainkan juga telah memberikan daya tarik
bagi para ilmuan lainnya yang menyadari kekuatan bahasa sebagai salah satu media
yang dapat memantau kesepakatan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam masalah penerjemahan perlu kiranya seorang penerjemah memiliki
pengetahuan mengenai tahapan-tahapan penerjemahan, syarat-syarat penerjemahan,
dan ragam-ragam penerjemahan, guna mayoritas naskah yang diminati untuk dijadikan
sasaran, serta pendekatan apa yang sebaiknya diambil.
Kemampuan menerjemahkan mempunyai peranan yang signifikan untuk
menguak apa saja maksud di balik ayat yang masih dianggap abu-abu oleh para ulama
klasik dan modern, dan terkesan mengandung sebuah misteri yang patut untuk
dipecahkan. Oleh karenanya, latar belakang keilmuan sesesorang khususnya
kemampuan menerjemahkan pada ayat al-Qur’an memberikan dampak dan sudut 
pandang yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari terjemah?
2. Apa yang dimaksud terjemah lafdhiyah dan terjemah tafsiriyah?
3. Apa saja syarat-syarat yang diperlukan dalam penerjemahan?
4. Bagaimana pandangan para ulama mengenai terjemahan al-Qur’an?
5. Bagaimana hukum sholat dengan bahasa non-arab?

A. Pengertian Terjemah
Terjemah berarti salinan bahasa atau alih bahasa (dari suatu bahasa ke bahasa 
lain)1. Kata terjemah merupakan kata serapan dari tarjama yang semakna dengan 
fassara dan syarraha (berarti mentafsirkan, menjelaskan, dan mengartikan), pelakunya 
disebut turjuman atau mutarjim (penterjemah, juru bahasa). Kata tarjamah juga 
digunakan dalam istilah lain seperti ‘tarjamatu ar-rajuli’ yang berarti riwayat hidup / 
biografi seseorang.2 Dalam lisanul ‘Arab, disebutkan bahwa al-turjuman atau al-
tarjaman, jamaknya adalah tarajim, berarti menerjemahkan suatu pembicaraan atau 
kalam dengan maksud memindahkanya kedalam bahasa lain. Secara umum, terjemahan 
adalah proses memindahkan pesan yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu, 
kedalam bahasa yang lain secara sepadan dan wajar dalam pengungkapannya sehingga 
tidak menimbulkan kesalahan presepsi dan kesan asing dalam menangkap pesan 
tersebut.3
Al-zarqani, dalam manahilul irfan menjelaskan bahwa terjemah dari segi 
bahasa mengandung empat pengertian. Pertama, menyampaikan pembicaraan atau 
kalam kepada orang yang belum mengetahuinya. Kedua, menafsirkan pembicaraan 
atau kalam dengan menggunakan bahasa asalnya. Pengertian ini mengacu pada ibnu 
abbas yang diberi gelar sebagai turjuman Al-Qur’an yang berarti penerjemah Al-
Qur’an, maksudnya adalah penafsir Al-Qur’an. Demikian pula yang yang dinyatakan 
az-zamakhsyari didalam asas al-balaghah, “setiap kalimat yang diterjemahkan adalah 
juga ditafsirkan”. Ketiga, menafsirkan pembicaraan atau kalam dengan bahasa lain 
yang bukan bahasa asalnya. Dalam lisanul ‘Arab, yang dikatakan turjuman ialah 
mufassir kalam. Jadi, menerjemahkan suatu kalimat berarti menafsirkannya dengan 
bahasa lain, demikian menurut al-jauhari. Keempat, pemindahan pembicaraan atau 
kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.4
Menurut Muhammad Husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar ulama Al-Qur’an
dari Al-Azhar University, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua macam
pengertian, yaitu: Pertama, mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari 
suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna bahasa asal (yang
diterjemahkan). Kedua, menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud 
yang terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa yang lain.5
Dari penjelasan singkat di atas, dapat kami simpulkan bahwa terjemah adalah
mengalihbahasakan suatu pesan atau pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang
lain, baik disertai penjelasan terhadap maksudnya maupun tidak, dengan tujuan agar 
bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal.
B. Terjemah Harfiyah dan Terjemah Maknawiyah
Manna Khaliul al-Qathhan membagi istilah terjemah kepada dua macam, yakni 
terjemah harfiyah dan terjemah maknawiyah / tafsiriyah.
1. Terjemah Harfiyah
Terjamah Harfiyah dikenal juga dengan terjemah lafdziyah, yaitu mengalihkan 
lafadz-lafadz dari suatu bahasa kepada lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa yang lain 
dengan tetap mengikuti susunan kalimat bahasa asalnya. Terjemah harfiyah adalah 
terjemah yang dilakukan dengan apa adanya, tanpa mengubah susunan dan struktur 
bahasa asal yang di terjemahkan.
Contoh:
ّ الك اللحم وادلجاج واخلزب
والرز
“ Saya makan daging, ayam, nasi, dan roti “
Contoh dalam Al-Qur’an: 
 
م
صُ
ۡ
ر
َ
ي
َ
َل
ۡ
م
ُ
ه
َ
ُ ۡٞۡم ف
ع
ٌ
م
ُكۡ
ب
َ
ون
ُ
ِجع
Artinya: “(Mereka) tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak dapat kembali.” (Qs. Al-
Baqarah [2]: 18)
2. Terjemah Tafsiriyah
Terjemah Tafsiriyah adalah penyampaian makna suatu pembicaraan kedalam
bahasa lain dengan tanpa terikat pada susunan atau tertib kalimat bahasa asal.6
Terjemahan seperti ini mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara sempurna 
dengan konsekuensi terjadi perubahan urutan kata atau susunan kalimat. Oleh sebabitu, bentuk terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan maknawiah, karena 
mengutamakan kejelasan makna.7 Terjemah maknawiyah dilakukan dengan cara
mengganti suatu kata dengan kata lain yang sinonim dalam pengertian yang global, atau 
pengertian yang mendekati dengan memperhatikan makna-makna tib’iyyah (primer)
dan bai’dah (sekunder), juga memperhatikan ciri khusus dan karakteristik sebuah 
kalimat.8
Contoh:
ايلد العليا خري من ايلد السفىل
“Orang yang memnberi lebih baik daripada orang yang meminta”
Kalimat diatas jika diterjemahkan secara harfiyah menjadi “tangan diatas lebih 
baik daripada tangan dibawah”.
Contoh lain dalam Al-Qur’an:
ا
َ
ه
 
ي
َ
أ
َٰٓ
َ
ي ٱ
ِينَ
ذ
َّل
ُ
م
ۡكُ
ي
َ
ل
َ
ع
تِبَ
ُ
ك
ْ
وا
ُ
ن
َ
ام
َ
ء ٱ
ُ
ام
َ
ِ ي
لصّ
تِبَ َع ََ
ُ
ا ك
َ
م
َ
ك ٱ
ِينَ
ذ
َّل
َ
ون
ُ
ق
ذ
ت
َ
ت
ۡ
م
كُ
ذ
ل
َ
ع
َ
ل
ۡ
م
لِكُ
ۡ
ب
َ
ِمن ق
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa 
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. 
Al-Baqarah [2]: 183)
Kata “diwajibkan” yang merupakan terjemah dari كتب pada ayat diatas adalah 
makna sekunder, bukan primer. Adapun makna primernya adalah “dituliskan”. dengan
demikian terjemah diatas dapat dikategorikan sebagai terjemah tafsiriyah.
Dari kedua jenis terjemahan diatas, Terjemah tafsiriyah adalah lebih lazim 
digunakan. Hal ini karena tujuan dari penerjemahan sendiri adalah untuk 
menyampaikan makna / isi pesan suatu pembicaraan dalam bahasa sumber kepada 
bahasa sasaran sehingga pesan dapat dipahami dengan baik dan jelas oleh seseorang 
yang tidak mehami bahasa sumber tanpa adanya kekeliruan dan kesalahpahaman.
Adapun terjemah harfiah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis 
seperti bahasa sumber, pada hakikatnya adalah tidak mungkin dilakukan. sebab, 
masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa sasaran) selain memiliki ciri khas 
tersendiri dalam urut-urutan kata, juga adakalanya masing-masing ungkapan 
mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri. Demikian pula, terjemah harfiyah tidak mungkin dilakukan lebih-lebih terhadap 
seluruh ayat Al-Qur’an. Hanya pada beberapa ayat saja yang dapat diterjemahkan 
secara harfiyah, sadangkan lainya hanya dapat dilakuan secara tafsiriyah.
Contoh: 
َ
َل
َ
و
ُذ
ا لك
َ
ه
ۡ
ط
سُ
ۡ
ب
َ
ت
َ
َل
َ
و
قِكَ
ُ
ن
ُ
ع
ٰ
َ
َِل
إ
ً
ة
َ
ول
ُ
ل
ۡ
غ
َ
م
َ
ك
َ
د
َ
ي
ۡ
ل
َ
ع
ۡ
َ
َت ٱ ِط
ۡ
س
َ
ب
ۡ
ل
َ
ف ا
ً
ور
سُ
ذ ۡ
ا َّم
ٗ
وم
ُ
ل
َ
م
َ
د
ُ
ع
ۡ
ق
َ
ت
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan 
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan 
menyesal.”
Pada contoh diatas, jika ayat tersebut hanya diterjemahkan secara harfiah, maka 
pengertiannya berarti Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat 
tangannya di atas pundaknya. Padahal, yang dimaksud oleh ayat 29 surat Al-Isra'(17) 
di atas adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta di samping larangan 
untuk bersikap boros.
Seiring dengan keterbatasan terjemahan harfiah sebagaimana telah dijelaskan 
di atas, maka tidaklah sulit untuk menerima sikap mufassir-semisal al-Dzahabi yang 
menyatakan mustahil bisa menerjemahkan Al-Qur’an secara harfiah. Dalam 
pandangannya, metode yang boleh digunakan dalam merjemahkan Al-Qur’an hanyalah 
terjemah tafsiriyah, sedangkan menerjemahkan Al-Qur’an secara harfiyah (saja) adalah 
haram. Hal ini mengingat luasnya jangkauan isi kandungan Al Qur'an yang diurai 
dengan uslub (gaya bahasa) yang khas. Sehingga sangatlah sulit (jika enggan 
mengatakan mustahil) menerjemahkanAl-Qur’an secara harfiah.
Kebenaran statement al-Dzahabi tersebut tentang kemustahilan penerjemahan 
Al-Qur’an secara harfiah, kiranya dapat diterima selama terjemahan yang dilakukan 
oleh mutarjim dimaksudkan untuk menerangkan isi kandungan Al-Qur’an yang sangat 
luas dan dalam itu. Akan tetapi boleh jadi tidak tepat apabila sasaran yang dituju atau 
motivasi penerjemah hanyalah sebatas memperkenalkan makna/arti kosa-kata Al-
Qur’an secara utuh dan menyeluruh (holistik) dengan cara menerjemahkannya secara 
tahlili, kata demi kata, dan awal hingga akhir ayat-ayat Al-Qur’an.9
C. Syarat-syarat Terjemah Al-Qur’an
Penerjemahan adalah suatu proses pemindahan atau pengalihan pesan dari 
suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Terdapat beberapa syarat untuk suatu kegiatan 
pemindahan bahasa itu dapat dikatakan sebagai penerjemahan, diantaranya:
1. Melibatkan dua bahasa atau lebih
2. Pengalihan tersebut harus diakukan secara sepadan
3. Penerjemahan haruslah wajar sesuai standar penggunaan bahasa yang lazim10
Dari ketiga poin diatas, dapat dipahami bahwa seorang penerjemah dituntut 
untuk dapat menjaga pesan dalam pembicaraan atau teks yang diterjemahkan dari 
bahasa sumber kedalam bahasa sasaran agar tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi 
penerima atau pengguna bahasa sasaran. 
Dalam proses penerjemahan, terdapat bebarapa hal yang harus dipenuhi oleh 
seorang penerjemah agar dapat menghasilkan terjemahan yang baik, tepat dan sesuai
sehingga tidak menimbulkan adanya kerancuan atau ketidaksesuaian antara bahasa asal 
(sumber) dengan bahasa sasaran, sebagai berikut:
1. Menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran
2. Mengetahui karakteristik, gaya bahasa bahasa sumber dan bahasa sasaran
3. Mengetahui dengan baik isi teks dan topik pembicaraan yang akan diterjemahkan
4. Mampu mengalihkan ide atau pesan yang terdapat pada bahasa sumber
5. Menjaga ketetapan makna dan maksud secara konsisten
6. Penerjemah harus teliti dan cermat
7. Penerjemah mengetahui kerakteristik penulis teks yang akan diterjemahkan11
Para ulama menembahkan beberapa syarat terhadap mutarjim/penerjemah al-
Qur’an, sebagai berikut: 
1. Mutarjim harus seorang Muslim dan memiliki akidah Islamiyah yang lurus
2. Mutarjim memiliki sikap Adil (tidak fasik), i’tikad baik, dan niat yang tulus
3. Mutarjim memenuhi kriteria sebagaimana mufassir, serta menguasai ilmu-ilmu, 
seperti: ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, dan lain-lain
4. Sebelum menerjemahkan, mutarjim harus lebih dulu menulis ayat-ayat Al-Qur’an 
yang hendak diterjemahkan.
5. Mutarjim menguasai dengan baik bahasa (termasuk karakteristik dan gaya bahasa) 
Al-Qur’an dan bahasa sasaran.12
D. Pandangan Ulama Mengenai Hukum Membaca Terjemah Al-Qur’an Dalam 
Shalat 
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya sholat dengan menggunakan 
terjemahan Al-Qur’an (selain bahasa Arab):
1. Boleh, ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi
Abu Hanifah berpendapat seseorang diperbolehkan secara muthlak sholat 
mengunakan bahasa selain bahasa Arab.13 Alasannya yang dikemukakan adalah 
kewajiban sholat yang harus dilakukan adalah membaca Al-Qur’an, terlepas itu dalam 
bahasa Arab atau bukan. Menurut Abu Hanifah, terjemahan Al-Qur’an adalah sama 
dengan Al-Qur’an itu sendiri selama ia mengarah dan tidak keluar dari kalam Allah
tersebut (Al-Qur’an) dimana ia mengandung pelajaran, motivasi, peringatan, pujian, 
dan pengagungan. Bukan persoalan ia harus berbahasa Arab atau tidak.14 Lebih lanjut 
imam Abu Hanifah menekankan selama bacaan yang dibaca dalam shalat adalah Al-
Qur’an, dalam bahasa apapun, maka diperbolehkan. Adapun perkataan manusia, 
meskipun bahasa Arab, maka itu membatalkan sholat.15
Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya berdasarkan firman Allah SWT:
ِإَو
ُ
ه
ذ
ن ۥ
ِ
ر
ُ
ب
ُ
ِِف ز
َ
ل ٱ
لِيَ
ذ
و
َ ۡ
ۡل
Artinya: “Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab 
orang yang dahulu.” (Qs. Asy-Syu’ara [26]: 196)
ذ
ِن
ِِف إ
َ
ا ل
َ
ٰذ
ه ٱ ِف َ
حُ
 
لص ٱ
ٰ
َ
ول
ُ ۡ
ٰ
ََس ۡل -
و
ُ
م
َ
و
َ
ٰهِيم
َ
ر
ۡ
ِب
ِف إ
حُ
صُ
Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, 
(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (Qs. Al-A’la [87]: 18-19)
Ungkapan pada ayat-ayat diatas memberikan pemahaman bahwa yang 
dimaksud dari suhuf Nabi Ibrahim dan Musa yang dimaksud adalah bukan secara 
lafalnya, namun dari segi maknanya. 
Selain itu, Abu Hanifah juga menyandarkan pendapatnya pada hadis Nabi
SAW: “sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan sab’atu ahruf.” (HR. Bukhari)
Hadis diatas kemudian diperkuat dengan penuturan Salman Al-Farisi, bahwa 
suatu ketika ada sekelompok orang-orang persia datang menemuinya (Salman) seraya 
meminta tulisan dari sebagaian ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya, maka kemudian dia 
(Salman) menulis surat Al-Fatihah untuk mereka dengan menggunakan bahasa Persia.16
Terdapat sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah telah 
mencabut pendapatnya tentang kebolehan secara mutlak shalat dengan bahasa 
terjemahan.
Dua murid imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Bin Husain, 
membatasi kebolehan dalam hal tersebut diatas adalah “dalam keadaan darurat”, yakni 
hanya bagi mereka yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab. Sedangkan bagi 
yang mampu maka tidak diperbolehkan.17
2. Haram secara mutlak, ini adalah pendapat jumhur ulama
Ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memperbolehkan bacaan 
terjemah Al-Qur’an dalam shalat, baik ia mampu membaca bahasa Arab atau tidak. 
Menurut pendapat mereka, terjemah Al-Qur’an bukanlah Al-Qur’an. Alasanya, Al-
Qur’an adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu kalamullah yang menurut-Nya 
sendiri, berbahasa Arab. Dan dengan menerjemahkannya maka hilanglah 
kemukjizatannya, karenanya terjemahan itu bukan kalamullah.18 Hal ini didasarkan 
pada firman Allah SWT: 
ۡ
و
َ
ل
َ
و
َ
ء
تۡ
َ
ِ ل
صّ
ُ
ف
َ
َل
ۡ
و
َ
ل
ْ
وا
ُ
ال
َ
ق
ذ
ا ل
ّٗ
ِمي
َ
ج
ۡ
ع
َ
ا أ
ً
ان
َ
ء
ۡ
ر
ُ
ق
ُ
ٰه
َ
ن
ۡ
ل
َ
ع
َ
ج
ُ
ه
ُ
ت
ٰ
َ
 
اي
 
ۥ ّۗٞ
ِبّٞ
َ
ر
َ
ع
َ
و
ِۡمّٞ
َ
ج
ۡ
۬اع
َ
ء ( ... )
Artinya: “Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain 
Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" 
Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? (...).” 
(Qs. Fusshilat [41]: 44).
Berkata Qadi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi, salah seorang fuqaha’ Maliki dalam 
menafsirkan ayat tersebut: “Para ulama kami mengatakan, ayat ini membatalkan 
pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa menerjemahkan Al-Qur’an dengan 
menggantikan bahasa Arabnya dengan bahasa persia itu boleh. Sebab, dalam firman 
Allah surat fusshilat/41: 44, Allah menafikan jalan bagi bahasa asing untuk dapat 
masuk kedalam Al-Qur’an. lebih lanjut, Ibnul ‘Arabi mengatakan, “bayan dan kemukjizatan hanya dapat direalisasikan dengan bahasa Arab. karena itu, seandainya 
Al-Qur’an diganti dengan bahasa selain Arab tentulah penggantinya itu tidak dapat 
dinamai Al-Qur’an dan bayan, juga tidak menimbulkan kemukjizatan.”
Al-Hafiz Ibn Hajar, salah seorang fuqaha’ syafi’i, dalam Fathul Bari’ berkata: 
“ jika seseorang sanggup membacanya dalam bahasa Arab, maka ia tidak boleh beralih 
darinya, dan sholatnya tidak sah dengan membaca terjemahan, walaupun ia tidak 
sanggup membaca dengan bahasa Arab. “selanjutnya ia menyebutkan, apabila 
seseorang tidak sanggup membaca Al-Qur’an dengan bahasa Arab, maka mereka harus 
menggantinya dengan dzikir.”
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtida’us Shiratal Mustaqim, ketika berbicara 
mengenai perbedaan pendapat ulama mengenai kebolehan sholat dengan terjemahan 
Al-Qur’an, berkata: “Adapun Al-Qur’an, tidak boleh dibaca dengan selain bahasa Arab, 
baik bagi yang mampu maupun yang tidak mampu, menurut jumhur. Inilah pendapat 
yang benar dan tidak mengandung keraguan.”19
Demikian pula pendapat yang di kemukakan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili. dalam 
kitabnya Ushulul Fiqh Al-Islami, Az-Zuhaili berkata: “terjemah Al-Qur’an tidak bisa 
dianggap sebagai Al-Qur’an, meskipun itu (terjemahan) benar. Maka tidak boleh ber-
istinbath dengannya dalam hukum syar’i, demikian pula tidak boleh membacanya 
dalam sholat, dan membacanya pun tidak termasuk ibadah.”20

A. Kesimpulan
Terjemah adalah mengalih bahasakan suatu pesan atau pembicaraan dari suatu 
bahasa ke bahasa yang lain, baik disertai penjelasan terhadap maksudnya maupun tidak, 
dengan tujuan agar bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu memahami 
langsung bahasa asal. Manna Khaliul al-Qathhan membagi istilah terjemah kepada dua 
macam, yakni terjemah harfiyah dan terjemah maknawiyah / tafsiriyah. 
Terjamah Harfiyah dikenal juga dengan terjemah lafdziyah, yaitu mengalihkan 
lafadz-lafadz dari suatu bahasa kepada lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa yang lain 
dengan tetap mengikuti susunan kalimat bahasa asalnya. Sedangkan Terjemah 
Tafsiriyah adalah penyampaian makna suatu pembicaraan kedalam bahasa lain dengan 
tanpa terikat pada susunan atau tertib kalimat bahasa asal.
Pandangan ulama mengenai terjemah Al-Qur’an dan hukum membacanya 
dalam shalat terjadi perbedaan pendapat. pendapat yang pertama, Abu Hanifah 
berpendapat seseorang diperbolehkan secara muthlak sholat mengunakan bahasa selain 
bahasa arab. Namun, terdapat sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah 
telah mencabut pendapatnya tentang kebolehan secara mutlak shalat dengan bahasa 
terjemahan. Pendapat yang kedua, Ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak 
memperbolehkan bacaan terjemah Al-Qur’an dalam shalat, baik ia mampu membaca 
bahasa Arab atau tidak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I’TIBAR, MUTABA’AT, DAN SYAWAHID [unedited]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam struktur tingkatan sumber hukum umat islam, hadis (sunnah) menempati urutan kedua setelah al-qur’an, karena disamping sebagai ajaran islam yang secara langsung terkait dengan kehidupan Rasulullah saw. sebagai suri tauladan, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al’qur’an. Hadis Nabi meskipun dalam tingkatan sumber hukum berada pada urutan kedua, namun dalam praktik pelaksanaan ajaran islam sangatlah penting, bahkan tidak jarang dianggap sejajar dengan al-qur’an. hal ini, karena hadis selain sebagai penguat dan penjelas terhadap al-qur’an, terkadang ia secara independent dapat menjadi pijakan dalam menentukan ketetapan hukum terhadap suatu permasalahan yang tidak disebutkan dalam al-qur’an. Hadis dengan berbagai dimensinya selalu menjadi fokus kajian yang problematik dan menarik. Studi hadis pun dikalangan para peneliti hadis terus mengalami perkembangan. Beragam objek studi hadis terus berkembang dari masa ke mas

Kuliah Jalanan

    Perasaan sekarang ini perkuliahan belum dimulai, namun saya merasa mendapat banyak materi kuliah hari ini. Kamu boleh menyebutnya kuliah "hidup". Semua berawal dari perjalanan saya ke sebuah coffee shop di Pondok Cina (sebuah kawasan di Margonda, pusat kota Depok). Dengan berbekal hem warna merah motif kotak-kotak dan celana panjang bermerk curidimal yang kumal karena belum disetrika, saya berangkat menyusuri padatnya kota Depok siang itu. Perginya saya ke coffee shop itu bukan tanpa alasan, ada misi khusus yang saya emban dan mesti saya lakoni hingga tuntas.     Jalan kakilah saya dari tempat persinggahan by foot sampai halte fakultas teknik Universitas Indonesia. Sesampainya saya di sana, sembari menunggu Bis Kuning (BIKUN) UI lewat saya menyalakan earbud yang baterainya tinggal 10% untuk kemudian dihubungkan dengan smartphone saya via bluetooth. Tak hanya sampai situ, saya pun membuka buku Epistemologi Islam yang sebenarnya merupakan kumpulan materi kuliah Prof. Satria

Tak Siap

Telah lama kupendam hingga padam Prahara asmara yang kian bermunculan di kepala Namun apa kata tiba-tiba saja tiba di depan mata Sungguh rencana Tuhan selalu saja tak terkira Banyak kata yang ingin terucap Sepatah dua patah ihwal perasaan penuh harap Tapi apa daya raga ini bak berkata tak siap Maksud hati tuk menatap syahdan menetap Banjarnegara, 17 Mei 2021